banner W Double You
 
Daftar Artikel:
“W” Double You (2)
Bodycare (4)
Kecantikan (16)
Kesehatan (1)
RA. Widisari (23)
Treatment (1)
Wedding (6)
[Lihat semua artikel]
 
πŸ’SPA WDOUBLEYOU KHUSUS WANITAπŸ’
Body Spa Greentea (Rp.275.000)
• Massage
• Scrub
• Masker
• Mandi (Bathtub dan Jacuzzi)

Body Spa Greentea Premium (Rp. 325.000)
• Massage
• Scrub
• Masker
• Sauna
• Mandi susu (Bathtub dan jacuzzi)


DAPATKAN PROMO OKTOBER - DESEMBER 2019 "Datang berdua FREE FACIAL WHITENING untuk masing-masing customer dihari yang sama πŸ’•πŸ’•πŸ’•πŸ’•πŸ’•πŸ’•

Nb: Maximal booking spa H-1 di jam kerja (10.00-17.00)

• Keterangan lebih lanjut hubungi admin •
 
Slimming
Dahsyat hanya dalam 5 hari
 
 
“W” Double You

Jl. Sriwijaya No. 38 C - 38D
Semarang — JATENG
Telp. (024) 841 4654, 841 4384
CP: 081.1580.3399 (Call/SMS/WA)
BBM: 5BC1AA91
Jam Operasional:
10.00 - 18.00
(Senin & Hari Besar libur)
 
Anda suka situs ini?
Beritahukan pada teman Anda:
 
 
Home
 
Treatment
 
Wedding Organizer
 
Artikel
 
Gallery
 
About Us
 
Hubungi Kami
 
Forum
 
[Urutkan menurut Relevansi] Diurutkan menurut Tanggal

Sempat Dikasihani karena Tua, Tiga Kali Gagal saat Melamar

Aminuddin-Widisari, Sejoli Beda Generasi
Selasa, 12 Juni 2012 16:24

Kisah keduanya penuh liku. Latar belakang berbeda, asal yang tidak serupa, serta usia jomplang. Tetapi selalu ada belanga yang mempertemukan asam di gunung dan garam di laut. Selalu ada cinta di antara dua manusia.

 

FELANANS-YOVANDA, Samarinda

DUA pasangmata itu beradu pada suatu petang di tahun 2006. Lelakinya, berjaket merah dengan rambut yang mulai memutih plus sedikit kerutan di wajah, baru saja turun dari sebuah mobil sport di Mal Lembuswana, Samarinda. Perempuannya, berkulit putih dengan rambut yang disembunyikan selembar kerudung. Tubuhnya semampai, memiliki pandangan nan indah berhias bulu mata lentik. Si pria terbengong-bengong melihat perempuan, yang menurutnya, bak bidadari. Juita itu sedang asyik mendekorasi Gedung Wanita, di Jalan M Yamin, di samping mal. “Ada apa, Pak?” Sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunan, meluncur dari bibir si perempuan bernama Raden Ajeng Widisari Djoyodiningrat. “Anu, saya mau mantu (mengadakan pernikahan anak),” jawab pria asal Samarinda bernama Aminuddin. Sudah beberapa kali dia menelepon Widisari, seorang penata rias dan dekorasi acara pernikahan. Di sela-sela sibuk, janji temu ditetapkan di situ. Di Kota Tepian, terampilnya tangan Widisari sudah kesohor di kalangan petinggi dan pengusaha kelas atas. Itu sebabnya, Aminuddin yang waktu itu direktur utama Bank Pembangunan Daerah Kaltim, ”ngotot” memakai jasa Widisari dalam pernikahan anak keduanya. “Tapi Januari nanti (tahun 2007) jadwal saya penuh,” sahut si penata rias, usai Aminuddin menyampaikan kapan kenduri diadakan. “Tidak masalah. Bulannya bisa diubah,” jawab Aminuddin. Dia sudah kadung percaya dengan kemampuan Widisari sehingga tak ingin ditangani yang lain. Satu lagi yang bikin dia tak segan-segan mengubah acara pernikahan anaknya: Aminuddin ingin sekali mengenal perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang 24 tahun lebih muda darinya.

LEMBAR PERTANYAAN

“Waktu itu saya kasihan sekali liat ada bapak tua yang datang. Kan, biasanya ibu-ibu, kok ini bapak-bapak. Eh, mau diubah lagi tanggalnya, tambah kasihan, deh. Ha.. ha.. ha…,” kata Widisari, menceritakan pertemuan pertamanya dengan Aminuddin. “Lha, siapa yang tidak bengong lihat perempuan cantik begitu,” timpal Aminuddin, tak mau kalah. Derai tawa dan senyum sipu-sipu terus mewarnai perbincangan Kaltim Post dengan sejoli ini, di kediaman mereka, beberapa waktu lalu. Setelah pertemuan pertama itu, jadilah keduanya sering bertemu. Apalagi, konsep pernikahan anak perempuan Aminuddin, Noviyanti, diserahkan kepada Widisari. Banyak kesempatan, membuat mereka makin akrab, seperti kakak adik. Widisari tahu pria itu sudah duda. Sementara Aminuddin makin mantap mengejar perempuan yang membuatnya kesengsem itu. Saking mantapnya, tidak perlu lama bagi Aminuddin untuk menemui orangtua Widisari di Solo, Jawa Tengah. Dia sudah sampai di ruang tamu kediaman Widisari di Surakarta, beberapa bulan setelah pertemuan pertama tadi. Ayah Widisari seorang pensiunan pegawai negeri yang terakhir menjabat sebagai kepala dinas di Semarang. Garis darahnya biru, keturunan keraton, yakni Hamengkubowono II. Begitupun ibunya, memiliki garis keturunan Djoyodiningrat, bangsawan Surakarta. “Itu daftar pertanyaan. Silakan ditulis dulu,” kata calon ibu mertua kepada Aminuddin. Rupanya, senarai pertanyaan itu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Jumlahnya puluhan. Pertanyaannya, seputar kehidupan seperti biodata; serta keseriusan Aminuddin mempersunting Widisari. “Saya tidak tahu apakah semua yang melamar diberi daftar itu; atau cuma saya saja karena saya yang sudah tua sehingga dikira main-main,” kenang Aminuddin. “Ibu saya itu, anaknya polisi. Jadi disiplin begitu,” imbuh Widisari, lalu disahut lagi oleh suaminya, “Ya. Tapi rasanya seperti diinterograsi atau ikut ujian saja.” Lembar jawaban pertama yang ditulis Aminuddin ditolak. Tak berapa lama, dia datang lagi. Menjawab pertanyaan lagi. Ditolak lagi. Begitu seterusnya. Baru yang keempat, setelah menjawab daftar pertanyaan, lamaran Aminuddin akhirnya diterima. “Padahal, jawaban saya dari pertama, kedua, ketiga, dan keempat sama saja,” kenang Aminuddin lantas tertawa. Kata terima itu pun, setelah orangtua Widisari mengecek apakah benar pria yang melamar anaknya itu sudah duda. Apakah benar seorang direktur bank terkemuka di Kaltim. Bahkan, kesehatan Aminuddin terutama untuk urusan suami istri sampai dicek ke rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. “Nyatanya baik-baik saja. Saya bisa hamil. Itu buktinya,” kata Widisari sembari menunjuk anak bungsu mereka. Sebagai direktur utama sebuah bank, Aminuddin yang duda juga harus mendapat izin Bank Indonesia serta Dewan Pengawas BPD Kaltim. Mereka pun menikah. Widisari yang memiliki usaha wedding organization, tak menggunakan jasa orang lain. Dia merias wajahnya sendiri dan mendekorasi ruang pernikahannya.

BUMI DAN LANGIT

Bukan hanya perbedaan usia yang ditembus pasangan ini. Menilik latar belakang, keduanya seperti bumi dan langit. Aminuddin, anak sulung dengan sembilan adik, lahir di sebuah keluarga sederhana di Samarinda. Ayahnya seorang guru. Hidup pas-pasan, sejak kecil Aminuddin biasa hidup susah. Sedari sekolah hingga lulus SMEA, dia biasa bekerja kasar. Menjadi buruh atau menjual kue. Pria kelahiran 10 Agustus 1952 ini sempat kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Mulawarman, pada 1970. Tetapi karena tidak punya biaya, dia berhenti. Aminuddin yang masih ingin kuliah lantas bertekad mengumpulkan biaya. Selama setahun, dia bekerja sebagai buruh bangunan. Setahun kemudian, dengan uang yang dikumpulkannya, dia sudah di atas kapal menuju Surabaya. Menumpang kereta api yang beralaskan tikar, Aminuddin tiba di Jogja pada 1971. Dia kuliah di Akademi Uang dan Bank di Kota Pelajar. “Waktu itu, saya lihat orang kerja di bank itu keren. Makanya saya masuk ke situ,” tutur Aminuddin. Setelah lulus, Aminuddin kembali ke Samarinda pada 1978 dan sempat bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kaltim. Hanya sebentar di situ, dia melamar ke BPD dan diterima. Kariernya terus melesat, hingga pada awal dekade 2000 atau setelah 22 tahun bekerja di bank pelat merah, Aminuddin dipercaya menjadi direktur utama. Dia menjabat dua periode, di mana di akhir periode pertamanya adalah saat dia bertemu Widisari. Waktu itu, Aminuddin memiliki empat anak dan telah bercerai. Jalur hidup berbeda ditempuh Widisari. Dia seorang putri Solo yang lahir pada 3 Juni 1976. Berasal dari keluarga darah biru, ayahnya seorang pegawai negeri dengan jabatan lumayan tinggi. Bungsu dari dua bersaudara ini tidak pernah kesulitan biaya sekolah. Hidup terjamin, dia lulus Universitas Semarang pada 1999. Ayahnya pun memberi modal usaha rias pengantin. Sembari itu Widisari mengikuti kursus tata rias ternama seperti Sekar Langit serta Sekolah Kecantikan Skin Care Aesthetic CIBTAC, London. Pada 1999, bersama suami pertamanya --sebelum berpisah--, Widisari hijrah ke Samarinda. Di kota ini, dia membuka usaha tata rias di daerah Pandanwangi bernama PT Widisari. Perlahan-lahan, dengan kemampuan rias yang berlabel sarjana internasional, nama Widisari mulai masuk hitungan. Pejabat dan pengusaha kelas atas di Bumi Etam kerap memercayakan acara-acara besar berikut tata riasnya, kepada perempuan ini. Widisari membuktikan, putri Solo tidak selalu dicap manja dan tidak bisa apa-apa. Dia bisa mandiri dan membuka usaha yang sukses. Hingga akhirnya, keduanya bertemu. Yang satu sulung, satunya lagi bungsu. Yang sulung dulunya hidup melarat, yang bungsu serba terjamin. Begitu banyak perbedaan seperti bumi dan langit termasuk jauhnya pautan usia. Tetapi asam di gunung dan garam di laut pun dapat bertemu dalam satu belanga. Di Samarinda, keduanya bertemu ketika sudah sama-sama single. “Waktu belum ketemu saya, bapak ini penampilannya tua sekali, lho. Sekarang sudah enggak. Kan sudah saya upgrade (dirias),” tutur Widisari. Keduanya, kini sudah punya dua anak lagi.

SAMA-SAMA BERBISNIS

Sejak sebulan ini, Aminuddin sudah tidak lagi menjadi direktur utama BPD. Hari-harinya kini lebih banyak dihabiskan menemani istrinya. Apalagi, istrinya itu punya banyak bidang usaha. Mulai percetakan dan bengkel di Pulau Jawa, serta salon kecantikan dan tata rias yang dikelola di Samarinda. “Perusahaan milik Ibu itu menjanjikan. Saya sekarang mendampingi Ibu, sembari melihat peluang bisnis di Samarinda,” katanya. Aminuddin memang memiliki rencana. Otak entrepreneur-nya terus bekerja. Tetapi dia belum mau mengungkapkan apa bisnisnya nanti. “Tunggu waktunya saja. Tidak besar. Kecil-kecilan yang penting berhasil,” tuturnya. Menurutnya, banyak usaha menjanjikan di Samarinda dengan risiko yang tidak tinggi. “Saya pernah ditawari bisnis ponton untuk mengangkut batu bara. Tetapi saya tahu itu risikonya tinggi. Jika ada kecelakaan, rugi besar. Aset bergerak itu tidak seperti aset yang tidak bergerak. Belum lagi awak kapal dan sebagainya,” tutur penggemar olahraga golf ini. Istrinya menambahkan, sering memberi masukan kepada Aminuddin. ”Saya bilang ke Bapak, menjadi peternak bebek sekalipun tidak masalah. Tetapi peternak bebek yang sukses ketimbang pengusaha ponton tetapi yang gagal,” katanya, bertamsil. Ketika sang suami pensiun, sejoli ini kerap mendiskusikan bisnis-bisnis mereka. “Tapi yang paling terasa, Bapak bisa mengantar anak setiap hari ke sekolah. Sering bersama, sebulan ini kami juga jadi sering tahajud bareng,” sebut Widisari sembari menatap lekat suaminya.
 

Sumber: Kompasiana

 

 www.wdoubleyou.com® All Rights Reserved © 2012hubungi kami